GROOVE.CO.ID – Makan, di Indonesia dan Asia Tenggara berarti “makan nasi”, bahkan belum makan jika tidak menyuap nasi meski sudah cukup asupan kalori dalam tubuh lewat makanan lain. Bagaimana sekarang, saat dunia di ambang krisis pangan setelah negara-negara eksportir menghentikan penjualan mereka ke luar negeri gara-gara El Nino.
Di Asia Tenggara 50-70 persen masyarakat mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, dan 30 persen beras dunia berasal dari wilayah ini. Karena itu, mau tidak mau, harus diakui Asia Tenggara di ambang krisis pangan, setelah harga beras melonjak hampir 40 persen sejak akhir 2022 lalu.
Presiden Joko Widodo khawatir betul dengan kondisi ini. Apalagi, setelah banyak negara produsen pangan sengaja melambatkan laju ekspor mereka.
Misalnya India yang melarang penjualan beras non-basmati ke luar negeri, mulai akhir Juli lalu karena fenomena El Nino yang menggagalkan panen raya di negara itu.
Presiden Jokowi membayangkan situasi akibat kebijakan negara-negara tersebut, yaitu lonjakan harga beras di dalam negeri. Ngeri!
“Ngeri sekali kalau melihat cerita semua negara sekarang mengerem, semuanya tidak ekspor pangannya. Gandum sudah, beras sudah, gula sudah, semuanya ngerem, semuanya,” kata Jokowi pada Jumat (29/9) saat Rakernas PDIP, partai yang dua kali mengusungnya dalam Pilpres yaitu 2014 dan 2019.

Data dari Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), harga beras premium pada September 2023 mencapai Rp14.696,41 per kg, sedangkan beras medium mencapai Rp12.941,87 per kg.
Pada Minggu (1/10) menurut situs Bank Indonesia rata-rata harga beras di pasar tradisional seluruh Indonesia untuk kualitas medium I Rp14.400, sedangkan beras kualitas medium II Rp14.250 per kilogram.
Sedangkan beras kualitas super I Rp15.750 dan beras kualitas super II Rp15.150 per kilogram. Harga beras kualitas bawah I tertinggi ada di Kalimantan Tengah Rp. 18.250 per kilogram.
Hingga September 2023 harga beras premium telah mengalami kenaikan sebesar 13,29% dan harga beras medium telah melonjak sebesar 16,79%.
Presiden Jokowi menegaskan harus ada visi taktis dan perencanaan detail untuk Indonesia agar bisa mewujudkan kedaulatan pangan dalam 5-10 tahun ke depan.
Kepada Ganjar Pranowo, calon yang diusung PDIP pada Pilpres 2024, Presiden Jokowi bisik-bisik.
“Tadi saya bisik-bisik ke beliau (Ganjar Pranowo), ‘Pak, nanti habis dilantik, besoknya langsung masuk ke kedaulatan pangan. Enggak usah lama-lama. Perencanaannya disiapkan sekarang, begitu dilantik, besok langsung masuk ke kerja kedaulatan pangan’,” ujar Presiden Jokowi.
Pengalaman Indonesia
Indonesia sebenarnya sudah pernah beberapa mencapai swasembada beras, artinya kebutuhan beras tanah air bisa dipenuhi dari sumber-sumber dalam negeri, tidak perlu impor.
Tepatnya pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dengan jumlah produksi sebesar 27 juta ton, menurut situs museum.pertanian.go.id.
Saat itu Presiden Soeharto mendapatkan medali “Indonesia: From Rice Importer to Self Sufficiency”.
Setahun berikutnya, Presiden Soeharto diundang untuk berpidato pada upacara peringatan 40 tahun Food and Agriculture Organization (FAO), sekaligus menyerahkan bantuan 100.000 ton padi untuk negara-negara di benua Afrika yang dilanda kelaparan.
Swasembada beras Indonesia, adalah peristiwa penting dunia, karena selama 40 tahun berdirinya FAO baru ada sebuah negara yang mampu swasembada pangan. Pertama kali juga lembaga pangan dunia tersebut memberikan penghargaan tertinggi dalam bidang pangan yaitu: “From Rice Importer to Self Sufficiency”.

Presiden Soeharto memang mempunyai ambisi besar pada pertanian terutama padi. Pada 1974, Presiden Soeharto memperkenalkan konsep “revolusi hijau”, untuk meningkatkan hasil pertanian di Indonesia.
Revolusi hijau di Indonesia dikenali lewat program Bimbingan Massal (Bimas) dan Panca Usaha Tani, isinya( 1) penggunaan bibit unggul, (2) pupuk (3) pengendalian hama dan penyakit (4) irigasi dan (5) perbaikan sistem cocok tanam.
Program ini kemudian ditambah dengan kebijakan pemerintah memberikan subsidi bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi lainnya. Padi dianggap tanaman yang cocok ditanam di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur hingga Papua.
Hasilnya memang mujarab, revolusi hijau ini mengantarkan Indonesia swasembada beras pada 1984, 1985 hingga 1986. Makanan pokok masyarakat Indonesia yang beragam berganti menjadi beras dan nasi semata.
Hak asasi pangan
Di Indonesia pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus dipenuhi pemerintah, menurut UUD 1945 Pasal 27 dan Deklarasi Roma 1996. Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah:
“kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa pangan juga merupakan komoditas politik yang bisa berakhir dengan kejatuhan suatu rejim. Kejatuhan Presiden Soekarno juga dipicu dengan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.
Presiden Soeharto juga jatuh dengan cara yang kurang lebih sama, yaitu dengan krisis ekonomi 1997-1998 yang berkembang menjadi krisis multidimensi, termasuk mahalnya harga pangan.
Soal pangan ini sudah lama dianggap sebagai marwah pemerintah. Satiris Romawi bernama Juvenal menulis, tidak ada yang diinginkan rakyat kecuali roti dan sirkus. Roti menggambarkan pangan, dan sirkus menggambarkan kehidupan yang gembira.

Menurut Bustanul Arifin, guru besar ekonomi pertanian Universitas Lampung terdapat paling tidak lima strategi revitalisasi pertanian yang dapat diimplementasikan ke depan menghindari krisis pangan, yakni: Pertama, sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agroindustri dan kebijakan makro-ekonomi, karena elemen-elemen kebijakan moneter dan kebijakan fiskal terkait dengan pembangunan pertanian.
Kedua, sektor pertanian harus memperoleh tingkat bunga (kredit) yang layak dan terjangkau bagi sebagian besar petani dan pelaku usaha agribisnis dan agroindustri.
Ketiga, sektor pertanian memerlukan pengelolaan dan laju inflasi yang cukup terkendali untuk menurunkan tingkat keragaman suku bunga yang dihadapi komoditas pertanian. Artinya sektor pertanian harus didukung dengan laju inflasi yang rendah.
Keempat, sektor pertanian memerlukan anggaran (dana) publik yang merupakan bagian dari kebijakan keberpihakan pemerintah untuk mendorong kegiatan ekonomi dan kebijakan subsidi yang tepat sasaran dalam pembangunan pertanian.
Kelima, sektor pertanian memerlukan land-policy reform (reforma agraria), yang tepat dan terukur yang mampu mengkombinasikan peningkatan aset lahan yang dikuasai petani, perbaikan/peningkatan akses petani dan pemberdayaan kapasitas petani.